Cirebon – Dunia sastra kembali menjadi jembatan silaturahmi antarbangsa. Kali ini, seorang dosen sekaligus sastrawan asal Cirebon, Mustopa, M.Ag., akan mewakili dirinya dalam ajang bergengsi Festival Puisi Serumpun Tiga Negara yang melibatkan penyair-penyair dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Festival ini digelar sebagai bentuk apresiasi terhadap karya sastra sekaligus mempererat hubungan kebudayaan negara-negara serumpun. Dengan semangat penuh percaya diri, Mustopa memutuskan untuk turut berkompetisi, sekaligus mengadu keberuntungan di panggung internasional.
“Puisi bagi saya adalah ruang ekspresi jiwa. Dari sana, kita bisa mengikat persaudaraan, menguatkan semangat kebangsaan, dan menumbuhkan cinta lintas batas,” ujar Mustopa saat ditemui sebelum keberangkatannya mengikuti festival.

Dalam kesempatan ini, Mustopa akan mengikutsertakan salah satu puisinya yang berjudul “Rindu di Tepi Selat.” Puisi tersebut menggambarkan kerinduan seorang anak bangsa terhadap akar sejarah, persaudaraan, dan kebersamaan tiga negara yang pernah bersatu dalam kebudayaan Melayu. Selat yang memisahkan, dalam puisinya, justru dimaknai sebagai jembatan kerinduan yang mempererat persaudaraan, bukan pemisah.
Karya-karya Mustopa selama ini dikenal sarat dengan nilai keislaman, kebudayaan, serta sentuhan humanisme yang mengalir halus dalam diksi puitisnya. Tidak hanya menulis karya sastra, sebagai dosen di STID Al-Biruni Babakan Ciwaringin Cirebon, ia juga aktif membimbing mahasiswa untuk mencintai literasi dan menekuni dunia penulisan.
Pihak panitia festival menyampaikan bahwa ajang ini akan menghadirkan puluhan penyair dari tiga negara. Mereka akan menampilkan puisi bertema persaudaraan, kebudayaan, dan cinta tanah air. Para pemenang nantinya akan mendapatkan apresiasi berupa hadiah uang tunai. Juara 1 berhak memperoleh Rp 10.000.000, disusul hadiah untuk juara kedua dan ketiga.
Festival ini diharapkan menjadi momentum penting dalam memperkuat jalinan persaudaraan bangsa serumpun melalui jalur kebudayaan. “Lewat puisi, kita bisa memperkuat jembatan hati. Bahasa sastra lebih lembut, tapi ia punya kekuatan besar untuk menyatukan,” jelas salah seorang panitia dalam rilis resminya.